Daniel Rahakbauw (DR)
Maluku mempunyai keragaman Budaya dan kearifan lokal yang dapat memukau perhatian masyarakat Nusantara yang mungkin saja tidak dimiliki oleh daerah lain. Setiap daerah mempunya kearifan lokal yang menjadi dasar kehidupanya dari situlah keseimbangan alam dan manusia terbentuk secara utuh dan berkesinambungan. Permasalahanya muncul ketika masyarakat maluku memasuki era globalisasi dan modernisasi. Nilai-nilai budaya yang berbasis kearifan lokal kian jauh dari perhatian dan kepedulian manusia. Pewarisan kebudayaan makluk manusia, tidak selalu terjadi secara vertikal kepada anak cucu mereka, melainkan dapat pula secara horizontal yaitu manusia yang satu dapat belajar kebudayaan dari manusia yang lain. Kalau kita melihat di negara kita sendiri dimana kebudayaan asing telah banyak melibatkan generasi muda, maka generaai tua akan mengalami kesulitan dalam mentransmisikan kebudayaan kepada generasi muda sekarang. Dari berbagai kebudayaan dan kearifan lokal yang kita jumpai di daerah Maluku, ada juga budaya dan kearifan lokal yang mungkin belum diketahui oleh orang banyak sala satunya terdapat dikepulauan kei.
Kepulauan kei (Evav) merupakan gugusan kepulauan dalam wililaya kabupaten Maluku Tenggara dengan Ibukotanya Langgur. Dalam kehidupan bermasyarakat secara sosial, budaya mereka masi sangat kental dipengaruhi oleh adat yang secara turun temurun telah diikuti dan dijadikan pedoman dalam kehidupan mereka.Masyarakat kei dikenal memiliki kekayaan budaya dan kearifan lokal yang sangat memesona/memukau perhatian dari daerah-daerah lain, budaya dan kearifan lokal itu diantaranya adalah;
1. Sasi (Hawer)
Sasi merupakan budaya masyarakat pulau kei yang digunakan bagi masyarakat untuk melindungi alam sekitar mereka yang telah ada sejak turun temurun haruslah dilestarikan dan dijaga dengan baik. Sasi ditandai dengan pemasangan daun kelapa muda (janur) di tempat yang dikenakan Sasi, artinya terlarang bagi siapapun yang akan beraktifitas di tempat tersebut. Setiap larangan yang termuat pada Sasi, memiliki jangka waktu tertentu, sehingga bermanfaat bagi lingkungan. Masyarakat kei mengenal hawear balwarin untuk melindungi petawanan mereka. Manfaat dari Sasi Laut misalnya supaya tetap terjaga keberlangsungan hidup ikan dan hasil-hasil laut lainya. Sedangkan Sasi darat membuat hasil panen maksimal, karena belum boleh dipanen sebelum masa panen. sebagai contoh sasi kelapa, hasil-hasil tanaman perkebunan dan sebagainya.
Pada masa sekarang sasi yang terlihat pada masyarakat sudah terarah pada kepentingan oknum tertentu untuk memperoleh keuntungan sepihak. Dengan sendirinya masyarakat kei sudah mulai mengeserkan kegunan sasi yang sebenarnya serta mengesampingkan kearifan lokal dan budaya masyarakat itu sendiri. Sasi saat ini pula sudah mulai terlihat bahwa sangat mengangu aktifitas masyararakat sasi jalan, jembatan dan bangunan-bangunan pemerintah lainya (fasilitas umum).
2. Budaya Maren
Maren pada masyarakat kei merupakan bentuk kerja sama antara kelompok masyarakat untuk bagaimana mereka dapat meringankan pekerjaan yang dikerjakan/dilakukan bersama. Maren itu sendiri dilakukan ketika membangun jalan desa, ada keluarga atau tetangga yang inggin membangun rumah, membuat talit pantai agar terhindar dari abrasi, membuat fasilitas umum dan sebagainya. Budaya maren dalam kenyataan yang sekarang, sudah mulai pudar/hampir hilang karen dipengaruhi oleh dua faktor, faktor internal dan eksternal. Faktor internal yaitu kurangnya kesadaran masyarakat akan pelestarian budaya maren, Faktor eksternalnya yaitu pengaruh yang di datangkan dari luar, seperti contohnya sewa menyewa mengunakan uang (upah). Upah merupakan hal yang sangat mempengaruhi masyarakat sehinga pemikiran masyarakat mulai berubah drastis, yang tadinya bekerja dengan seiklasnya dan sekarang sudah dibayar atau diberi gaji. Masyarakat tersebut terlalu sibuk untuk memodernisasi diri serta ikuti perkembangan arus globalisasi. Sehinga mereka tidak peduli dengan apa yang menjadi tangung jawab mereka.
Maren pada masyarakat kei merupakan bentuk kerja sama antara kelompok masyarakat untuk bagaimana mereka dapat meringankan pekerjaan yang dikerjakan/dilakukan bersama. Maren itu sendiri dilakukan ketika membangun jalan desa, ada keluarga atau tetangga yang inggin membangun rumah, membuat talit pantai agar terhindar dari abrasi, membuat fasilitas umum dan sebagainya. Budaya maren dalam kenyataan yang sekarang, sudah mulai pudar/hampir hilang karen dipengaruhi oleh dua faktor, faktor internal dan eksternal. Faktor internal yaitu kurangnya kesadaran masyarakat akan pelestarian budaya maren, Faktor eksternalnya yaitu pengaruh yang di datangkan dari luar, seperti contohnya sewa menyewa mengunakan uang (upah). Upah merupakan hal yang sangat mempengaruhi masyarakat sehinga pemikiran masyarakat mulai berubah drastis, yang tadinya bekerja dengan seiklasnya dan sekarang sudah dibayar atau diberi gaji. Masyarakat tersebut terlalu sibuk untuk memodernisasi diri serta ikuti perkembangan arus globalisasi. Sehinga mereka tidak peduli dengan apa yang menjadi tangung jawab mereka.
3. Kasta
Didalam kehidupan masyarakat kei pada umumnya dikenal dengan adanya sistem pengolongan dalam masyarakat yang dikenal sebagai sistem "kasta". Pengertian kasta pada masyarakat tradisional kei tidak dapat ditarik sejajar dengan sistem kasta di bali, juga tidak dapat disamakan dengan pembagian golongan masyarakat di Eropa pada masa Revolusi Industri di Inggris (borjois dan proletar). Karena bila ditelusuri, substansi pengolonganya berbeda. Kasta pada masyarakat tradisional kei lebih berdasarkan perilaku, etika dan moral kultural (budaya), tata aturan dan hukum adat serta sejarah.
Didalam kehidupan masyarakat kei pada umumnya dikenal dengan adanya sistem pengolongan dalam masyarakat yang dikenal sebagai sistem "kasta". Pengertian kasta pada masyarakat tradisional kei tidak dapat ditarik sejajar dengan sistem kasta di bali, juga tidak dapat disamakan dengan pembagian golongan masyarakat di Eropa pada masa Revolusi Industri di Inggris (borjois dan proletar). Karena bila ditelusuri, substansi pengolonganya berbeda. Kasta pada masyarakat tradisional kei lebih berdasarkan perilaku, etika dan moral kultural (budaya), tata aturan dan hukum adat serta sejarah.
Kasta pada masyarakat kei dibagi menjadi 3 golongan yaitu, Mel-Mel atau golongan atas (Bangsawan), Ren-Ren atau golongan tengah (penengah antara Mel-Mel dan Iri-Ri), Iri-Ri atau golongan bawah.
• Golongan atas adalah Mel-Mel/Bangsawan. Dikatakan sebagai bangsawan karena mereka yang berkuasa mutlak pada setiap aspek kehidupan masyarakat. Yang termasuk golongan ini adalah para pendatang dan juga penduduk asli. Bangsawan pendatang di sebut "Mel Kasil Tahit". Sedangkan bangsawan penduduk asli disebut "Mel Nuhu Duan". Para pendatang di tempatkan pada kedudukan Mel-Mel karena oleh penduduk asli mereka diangap sebagai orang yang pandai dan punya pengetahuan lebih dari penduduk asli sehinga diserakan kekuasaan pada mereka.
• Golongan tengah adalah Ren-Ren. Golongan ini berada diantara golongan Mel-Mel dan Iri-Ri (golongan penengah) golongan ini adalah penduduk asli mereka adalah yang pertama kali tiba di suatu wilayah, dan mereka diangap sebagai pemilik suatu daerah. Kata "Ren" itu sendiri berarti Induk dari suatu masyarakat. Kedudukan Ren sebagai tuan tanah dan juga bersama-sama Mel menjalankan roda pemerintahan.
• Golongan bawa atau Iri-Ri. kata Ri itu berarti akar, jika dihubungkan dengan pohon maka akar mencari zat makanan untuk pohonya. Iri-Ri dapat dikatan sebagai golongan paling terendah dari ketiga golongan yang ada pada masyarakat kei. Golongan ini juga dipandang sebagai golongan yang kurang diindahkan. Dapat dipahami sebagai golongan yang mengabadikan dirinya pada tuanya sebab dalam kehidupan mereka tidak benas sepenuhnya dan harus bekerja pada atasanya yaitu golongan Mel-Mel dan Ren-Ren.
Pada realita sekarang ini, banyak masyarakat yang menjadikan budaya kasta untuk membedakan mereka dengan orang lain, artinya bahwa mereka memilah/memisahkan diri mereka antara indifidu yang satu dengan indifidu yang lain, antara kelompok satu dan kelompok lain, alasanya karena beda golongan dalam masyarakat. Ada juga yang menjadikan kasta sebagai pemanfaatan semata untuk kepentingan golongan tertentu bahkan ada yang jadikan kasta untuk memperdaya orang lain, apalagi mereka dari golongan bawa.
4. Seni Budaya
Seni budaya yang terdapat di kepulauan kei adalah Alat musik diantaranya;
Seni budaya yang terdapat di kepulauan kei adalah Alat musik diantaranya;
• Savarngil (suling) : seruling keci local sepanjang -+ 30 cm, terbuka dikedua ujug, memiliki enam lubang tempat jari, terbuat dari bambu dan tanpa kunci nada.
• Tiva (gendang) : terdiri atas selebar ember cet yang terbuat dari kulit sapi yang dikeringkan kemudian direntangkan erat-erat menutupi sala satu mulut dari sebuah wadah yang berlubang.
• Dada (gong) : alat music tabuh dengan jari-jari 12 -15 inci, terbuat dari tembaga atau besi dengan tonjolan di bagan tengah, depan dan alat pemukulnya biasa mengunakan kayu yang sudah dibungkus oleh kain, fungsinya agar dapa menghasilkan bunyi yang baik.
Dengan alat-alat musik ini dapat menghasilkan bunyi musik yang sangat baik untuk didengar.
5. Makanan Khas
Makanan khas masyarakat kei adalah "Enbal". Enbal adalah sejenis makanan umbi-umbian berupa singkong yang beracun. Enbal jika tidak dikelola dengan baik maka jika orang mengkonsumsinya akan mabuk karena enbal memiliki kandungan Hcn yang tinggi. Namun demikian masyarakat kei jadikan enbal sebagai penganti beras, artinya bahwa makanan khas masyarakat kei adalah enbal, walaupun demikian harus melalui proses pembuatanya terlebih dahulu sebelum mereka mengkonsumsinya.
Makanan khas masyarakat kei adalah "Enbal". Enbal adalah sejenis makanan umbi-umbian berupa singkong yang beracun. Enbal jika tidak dikelola dengan baik maka jika orang mengkonsumsinya akan mabuk karena enbal memiliki kandungan Hcn yang tinggi. Namun demikian masyarakat kei jadikan enbal sebagai penganti beras, artinya bahwa makanan khas masyarakat kei adalah enbal, walaupun demikian harus melalui proses pembuatanya terlebih dahulu sebelum mereka mengkonsumsinya.
Untuk menghilangkan racunnya, enbal tersebut harus diparut menggunakan parutan tradisonal (parudang) dan kemudian diperas menggunakan kain atau karung hingga kadar airnya hilang. Setelah aman dari racun, enbal disaring menggunakan ayakan tradisonal (aya-aya) hingga halus. Baru kemudian enbal dapat diolah menjadi makanan lain, bahkan bias diolah menjadi enbal keju dan sebagainya.
Catatan kaki:
• Jangan terlalu mau memodernisasi diri sehinga kita lupa akan jati diri kita mari bersama-sama kita pegang teguh pada kearifan lokal dan budaya kita jangan sampai termakan oleh derasnya arus globalisasi.
• Mempolitisasi sesuatu itu yang sewajarnya, jangan sampai semua hal dipolitisasikan termasuk kearifan lokal dan budaya. Kita harus menjaga dan melestarikanya. Inilah jati diri kita jangan kotorkan jati diri kita agar bisa jadi kebangaan bagi generasi selanjutnya. Lokalitas yang menjadi kunci utama jika kita ingin mengejar ketertingalan.
Ambon 01 Maret 2020
Daniel rahakbauw
sukses selalu abang
ReplyDeletesukses selalu abang
ReplyDeleteSiap ade gaga
Delete