Sering kita dengar sapaan Ain ni ain sebagai pelengkap kehidupan bersaudara bagi masyarakat kei. Ain ni ain itu sendiri secara harafiahnya berarti "satu punya satu". Dalam pemaknaan ini mengajarkan kita berbagai hal tentang tata cara hidup bersama dalam satu bingkai kehidupan orang bersaudara di pulau kei. Namun jika dilihat pemaknaan ain ni ain ini dalam kehidupan bermasyarakat sekarang bahwa, pemikiran masyarakat kei memandang ain ni ain ini sudah mulai sempit adanya. Dilihat dalam berbagai bidang dan kenyataanya bahwa; pengunaan filosofi ain ni ain ini yang katanya sebagai bingkai pemersatu kehidupan berkeluarga sekarang yang dilihat cuman sekedar latar belakang politik dan kepentingan perorangan atau oknum tertentu.
Pemaknaan ain ni ain ini sekarang sudah disamaratakan dengan pemahaman nepotisme dikalangan masyarakat kei, kenyataanya bahwa pemaknaan ain ni ain ini sudah tidak lagi kelihatan dalam kehidupan sehari-hari bermasyarakat sebab bagi pemikiran masyarakat kei sekarang bahwa "jika itu sedarah/sekandung dengan saya maka saya perhatikan dia, jika tidak maka saya biarkan/tinggalkan". Kedaaan seperti ini yang menyebabkan sering terjadi polemik dan menggeser pemaknaan Ain ni ain dalam kehidupan bermasyarakat. Sebab yang ada dalam pikiran sebagian masyarakat kei bahwa, mereka akan membantu jika orang yang dibantu merupakan "sedarah/sekandung dengan mereka".
Hal ini yang menyebabkan nepotisme semakin berkembang dan semakin menyebar luas dalam kehidupan masyarakat kei. Boleh nepotisme tapi jangan sampai nepotisme itu memublik dan merugikan banyak orang demi kepentingan oknum-oknum tertentu. Jika kenyataan ini dibiarkan berkembang tanpa adanya perhatian masyarakat maka dengan sendirinya masyarakat kei akan tertingal dalam hal perkembangan. Contoh kecil yang sering kita jumpai dan nampak dalam kehipan masyarakat kei bahwa, jika dalam suatu instansi baik pemerintah maupun swasta. Jika ditemukan birokrat/pemimpin suatu instansi melakukan suatu tindakan atau membuat suatu kebijakan yang sedikit keliru/salah. Maka tidak menjadi hal yang lazim lagi kalu ditemukan tidak adanya protes yang dilakukan oleh pihak manapun baik dari kalangan mahasiswa dan warga masyarakat sebab yang duduk di kursi -kursi birokrat tersebut adalah; tete (toruan), nene (tobtuan), mama (renang), bapa (yamang), om (mamam et), tanta (afan), ade (warin) dan kaka (yaan).
Oleh sebab itu perspektif saya bahwa masyarakat kei tidak akan pernah berkembang jika masi mempertahankan pola kehidupan serta pikiran-pikiran yang serupa. Hal semacam itu harus dibatasi agar dalam kehidupan bermasyarakat ada kesamarataan dan keadilan yang dapat dirasakan bersama oleh masyarakat dan masyarakat tidak merasakan adanya kesenjangan sosial, kecemburuan sosial yang berujung kekerasan dan konflik dalam kehidupan masyarakat kei. Dengan memaknai filosofi ain ni ain serta jika dalam keseharian hidup kita mempraktekanya maka dengan sendiri akan tercipta kehidupan masyarakat kei yang aman, damai dan tentram. Sudah sepatutnya kita saling peduli dan kita sadar akan kehidupan yang mengikat dan menghubungkan kekerabatan bagi masyarakat kei. Jika ini terjadi tidak mungkin terjadi disintigrasi yang menimbulkan konflik sosial dalam kehidupan bermasyarakat sebab pemikiran kita bahwa "kita semua adalah satu dan adanya rasa saling memiliki dalam bingkai Ain Ni Ain".
Marilah kita bersatu bergandengan tangan maju bersama-sama menuju masyarakat kei yang aman, damai, dan tentram melalui adat, kearifan lokal serta budaya yang kita miliki. Jadilah generasi pelurus bukan generasi penerus, karena dengan meluruskan apa yang sudah dilakukan oleh nenek moyang kita, kita akan beroleh suatu pemaknaan pemahaman yang menjadi bekal dikemudian hari.
Kei itu beta,kei ko, kei dia dan kei itu katong samua punya.
Ambon 29 Februari 2020
Daniel Rahakbauw
Mantap tulisannya ๐
ReplyDeleteTerimakasih๐๐๐
ReplyDeletemantap bu tulisannya.
ReplyDeletejangan lupa menulis lagi tetang adat, budaya yang yg ada di evav.
sukses selalu buat kk๐